Special Dedicated buat Yore...
By: Pontjo Sutowo
Sejak
awal Bank Pacific banyak yang mengusulkan untuk dilikuidasi, mengingat
kadar permasalahan di bank milik keluarga Ibnu Sutowo itu sudah tak bisa
disembuhkan. Kredit macet sektor properti telah mengantarkan bank
tersebut ke 'liang kubur'.
Muara
masalah Bank Pacific berasal dari kredit yang disalurkan pada kelompok
usaha Endang Utari Mokodompit ke sektor properti. Menurut sumber di Bank
Pacific, total kredit macet itu mencapai Rp1 triliun. Selain tersangkut
di sektor properti, Bank Pacific harus melunasi commercial paper (CP) yang dijaminnya hingga mencapai Rp1 triliun. Praktis total kredit bermasalah Bank Pacific mencapai Rp2 triliun.
Kredit
macet yang dialami Bank Pacific berawal dari ulah Endang yang
menggunakan kewenangannya sebagai Dirut untuk mengucurkan kredit ke
perusahaan-perusahaan miliknya, sehingga melanggar batas maksimum
pemberian kredit (BMPK). Anak kedua dari pasangan Ibnu Sutowo dan Zuleha
itu mengucurkan kredit di sektor properti grup sendiri, seperti Cipta
Paramula Sejati, Puri Selaka, Suri Muliapermai dan Jaya Forex Utama
Int’l. Selain di sektor properti, Endang juga mengucurkan dana Bank
Pacific untuk membiayai jenis usaha lain yang masih dalam satu grup.
Sebenarnya
proyek properti yang digarap Endang--seperti proyek Lido Likes and
Resort--sangat prospektif bila dihitung dalam kaca mata bisnis. Namun
karena dalam pengucuran kredit ke proyek tersebut sebelumnya sempat di-mark up, sehingga membuat harga jual proyek tersebut melambung tinggi. Pada akhirnya sulit dipasarkan.
Sementara
itu Endang juga menjamin sejumlah CP dari usaha yang digelutinya. Konon
CP tersebut sebagian besar dalam denominasi dolar AS. Kewajiban CP yang
harus dilunasi Bank Pacific antara lain terhadap PT Wicaksono Overseas
Internasional (WOI) dan sejumlah perusahaan di luar negeri. Saat CP-CP
yang bernilai lebih kurang Rp1 triliun itu jatuh tempo, Endang panik,
jual sana, pinjam sini, untuk menutupi CP-CP tersebut. Bahkan wanita
ambisius tersebut harus diperkarakan oleh PT WOI karena menghindari
tagihan CP yang jatuh tempo itu.
Keluarga terpukul
Beban
berat yang diderita Bank Pacific rupanya segera berakhir, begitulah
kira-kira dugaan orang setelah ditegaskan Bank Nasional Indonesia (BNI)
1946 masuk dengan memberikan bantuan teknis (technical assistance) selama kurang lebih dua tahun. Sebenarnya Bank BNI juga mengucurkan dana ke Bank Pacific dalam bentuk interbank call money, selain Bank Panin, dengan tingkat bunga cukup tinggi, yakni 200%.
Menurut
sumber di perbankan, bantuan teknis yang diberikan Bank BNI sempat
membuat Bank Pacific membaik sesaat, untuk kemudian semakin parah
menyusul adanya gejolak moneter. Bahkan kondisinya bertambah parah
karena ulah petugas Bank BNI di lapangan yang sering memborong aset Bank
Pacific dengan harga setengah dari harga pasar.
Namun
menjelang ajal bank yang tergolong bank papan atas tersebut tiba,
Endang sempat menunjukkan itikad baiknya dengan menjual aset pribadinya
untuk menutup hutang CP maupun beban kredit macetnya. Sumber itu
menyebutkan hingga harta bendanya terjual, namun utang tersebut masih
belum terlunasi. Akhirnya Endang memanfaatkan tawaran dana sejumlah bank
besar lain dalam bentuk interbank call money berbunga tinggi.
Bak
terjerat lintah darat, Endang sulit menghindari bantuan yang dalam
jangka pendek cukup membantu namun dalam jangka panjang mencekik leher.
Hingga akhirnya Menkeu melalui SK No. 537/KMK.017/1997 yang didasarkan
surat BI No. 30/97/DIR/UPB3/Rahasia tanggal 31 Oktober 1997,
mengeksekusi 'mati' bagi Bank Pacific karena tak bisa diselamatkan lagi.
Bank Pacific mendapat vonis kematian dari pemerintah sejak hari Sabtu, 1
November 1997 pkl. 13.00.
Menurut data terakhir yang diperoleh dari tim care taker--terdiri
dari Ketua Ma'ruf Saleh (BI), Edy Wangsyana (Bank Pacific), Irsyad
(Bank Bira) dan Hasan Halim (Bank Prima Ekspres)--Bank Pacific masih
memiliki aset Rp2,76 triliun. Jumlah dana pihak ketiga mencapai Rp536,09
miliar dari 19.224 rekening nasabah. Jumlah karyawan hingga detik-detik
terakhir 'eksekusi' mencapai 833 orang yang tersebar di 20 kantor
cabang, cabang pembantu dan kantor pusat.
Sebenarnya,
menurut Pontjo Sutowo, Komisaris Bank Pacific yang juga merupakan adik
kandung Endang Utari Mokodompit, pihaknya telah berupaya keras
menyelamatkan bank tersebut. Namun karena pemerintah dan masyarakat
sudah menilai negatif terhadap Bank Pacific, bank itu sulit bangkit.
Bahkan dengan sangat menyedihkan pihak keluarga harus menerima kenyataan
pencabutan izin bank itu.
"Kami
benar-benar merasa terpukul dengan dicabutnya izin Bank Pacific, kami
tidak menyangka kejadiannya seperti itu. Padahal BI punya saham di Bank
Pacific lebih dari 50%," paparnya kepada pers saat bank itu ditutup
ditahun 1997.
Pontjo
mengakui bahwa pihak keluarga sudah tidak sanggup menyuntik dana segar
ke Bank Pacific karena memang tidak punya dana. Dengan dicabutnya bank
tersebut, membuat dia dan keluarga jera berbisnis bank. "Ini aja belum
beres, bagaimana saya bisa melirik bank lain?"
Menurut
dia, meski telah dilikuidasi jumlah nasabah bank dalam likuidasi (BDL)
tidak berkurang. Yang berkurang hanya jumlah banknya. Harusnya sumber
daya manusia bisa ditampung ke bank yang mau mengambil alih kantor
cabang.
Riwayatmu dulu
Bank
Pacific yang terlahir 2 Juni 1958 mengalami pasang surut kehidupan.
Pada 1973, bank milik keluarga pengusaha Ibnu Sutowo itu menikah dengan
PT Bank Merdeka dan tahun 1975 bank itu kembali melakukannya dengan PT
Bank Kalimantan.
Memasuki
1974, bank tersebut telah mendapat status sebagai bank devisa. Data Top
Companies & Big Group in Indonesia mengungkapkan susunan pemegang
saham pada bank yang masuk daftar likuidasi itu terdiri dari Bank
Indonesia [51,34%], Ibnu Sutowo [2,94%], Zaleha Ibnu Sutowo [2,94%], PT
Nugra Santana [4,19%], PT Nugra Indraperkasa [38,89%].
Dalam
perawatan Bank BNI, lembaga keuangan itu menempatkan HW Tehubijuluw
sebagai presiden komisaris dengan anggota Pontjo Nugro Susilo, Sutomo
Sunartadirdja, Sunardi PA dan Houtman Z. Arifin selaku komisaris.
Di
jajaran manajemen dikomandoi oleh Ali Sanusi Lubis yang mengantikan
Endang Utari Mokodompit dengan anggota direksi Eddi Wangsayatma dan
Kosasih Wikanta yang dikirim oleh BNI 46.
Hingga kini Bank Pacific tercatat mempunyai 17 kantor cabang di Jakarta, Medan, Palembang, Malang, Surabaya dan Samarinda.
Pada
1994 keuntungan bersih bank itu sebesar Rp26,66 miliar. Sejak
pertengahan 1995, Bank Pacific tidak lagi mempublikasikan laporan
keuangannya lantaran dijerat masalah.
Hingga
Juni 1995, Bank Pacific mencetak laba sebelum pajak sebesar Rp16,14
miliar dengan total aset mencapai Rp2,27 triliun. Return on assets (ROA)
pada periode yang sama tercatat 0,7%, dengan kredit yang disalurkan
sebesar Rp1,36 triliun, Rp126 miliar di antaranya disalurkan ke pihak
terkait oleh bank. Sedangkan mobilisasi dana masyarakat dalam periode
yang sama Rp1,07 triliun.
Tidak
dipublikasikannya laporan keuangan Bank Pacific berkaitan dengan upaya
BI untuk menyehatkan bank itu yang sedang sekarat akibat terlalu banyak
menyalurkan kredit kepada kelompok sendiri, khususnya di sektor
properti.
Selama
ini Bank BNI telah masuk ke Bank Pacific untuk memberikan bantuan
teknis, sehubungan dengan itu jajaran direksi dan komisaris didominasi
oleh Bank BNI. Bantuan teknis yang diberikan BI melalui Bank BNI
merupakan yang kedua kalinya, setelah tahun 1982 mereka menerima bantuan
sama dengan konsekuensi 50% sahamnya diserahkan ke-BI.
Selain
sempat berseteru dengan PT Wicaksana Overseas Indonesia dalam kasus
commercial paper [CP] senilai US$5 juta, bank itu juga makin kewalahan
menghadapi masalah BMPK yang makin membengkak.
Rupanya
bantuan teknis BNI harus diselesaikan sampai 31 Oktober karena sejak
per 1 November 97 bank tersebut resmi sebagai bank papan atas yang
dilikuidasi.
Berdasarkan
laporan hasil audit investasi BPK No. 06/01/Auditama II/AI/VII/2000 per
tanggal 31 Juli 2000 terungkap, total BLBI yang diterima Bank Pacific
mencapai Rp2,13 triliun. Dari jumlah tersebut total pengembalian BLBI
yang tercatat sebesar Rp204,24 miliar, sehingga terdapat sisa kewajiban
BLBI mencapai Rp1,93 triliun.
Jual aset
Rapat
umum pemegang saham (RUPS) Bank Pacific, pasca likuidasi, memutuskan
segera melakukan reaksi atas likuidasi yang menimpa bank tersebut dengan
menjual aset dan utang serta memberikan pesangon kepada 872 karyawan.
RUPS
Bank Pacific tersebut diwakili oleh pemegang saham mayoritas, pihak
luar, anggota tim likuidasi dari Bank Indonesia (BI) serta pengurus
Perbanas yang diselenggarakan dua pekan pasca likuidasi. Untuk tahap
pertama, RUPS itu menetapkan segera menyelesaikan masalah ketenaga
kerjaan.
Menurut
M. Ma'ruf Saleh, ketua Tim Likuidasi Bank Pacific yang merupakan wakil
dari BI, paling lama dalam waktu dua bulan kewajiban bank terhadap 872
karyawannya segera selesai melalui pembayaran pesangon yang diberikan.
Bahkan,
kemungkinan besar pada akhir Desember 1997 semua karyawan telah
menerima pesangon tiga bulan gaji ditambah gaji November, dengan cara
penjualan aktiva dan utang lancar perusahaan.
Tahap
awal akan dicari dana dari penjualan utang lancar perusahaan yang
jumlahnya mencapai Rp310 miliar. Setelah itu mungkin baru akan dijual
harta tetap perusahaan dan investasi perseroan yang ada pada perusahaan
lain.
Tim
Likuidasi Bank Pacific yang anggotanya tidak memiliki perwakilan dari
deposan besar serta karyawan itu, melaporkan segala rencana yang akan
dilakukan kepada BI, Departemen Kehakiman dan ke Departemen Tenaga
Kerja.
Sementara
itu, Pontjo Sutowo menyatakan permasalahan antara bank dengan karyawan
serta deposan, kreditur dan debitur akan diselesaikan sesuai dengan
undang-undang dan peraturan yang berlaku.
"Selain
itu, semua hak karyawan akan diberikan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Tetapi semua kewajiban karyawan juga harus diselesaikan sesuai
dengan peraturan."
Pontjo
mengemukakan perusahaan di bawah pimpinannya sedapat mungkin akan
menyalurkan karyawan yang berbakat ke hotel atau jenis usaha lainnya.
Tetapi harus diingat bahwa usaha mulik grup berbeda dengan usaha
perbankan, sehingga hanya karyawan berbakat atau unggulan saja yang akan
disalurkan.
Sebagai
salah satu bentuk tanggung jawab Bank Pacific atas utang CP kepada PT
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sebesar Rp37 miliar, keluarga
menyerahkan tanah seluas 187 ha di Jonggol, Jawa Barat. Negosiasi dan
penelitian terhadap tanah yang ditawarkan PT Nugra Santana sebagai
pengganti CP Bank Pacific yang dibeli tahun lalu, sudah selesai.
Sehubungan
adanya penawaran dari PT Nugra Santana--pemilik Bank Pacific--belum
lama ini kepada PT Jamsostek sebagai pengganti CP yang dibeli BUMN itu
senilai Rp 37 miliar. Ini adalah bagian dari konsekuensi Undang-Undang
No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas, dimana setiap ada perusahaan yang
dilikuidasi maka segala hak dan kewajibannya diperhitungkan dari aset
yang ada. Kalau aset yang ada tidak mencukupi maka dicari aset lain yang
masih berharga untuk menutup kekurangannya.
Pembelian
CP Bank Pacific oleh Jamsostek terungkap pada dengar pendapat antara
Komisi V DPR dengan direksi PT Jamsostek awal pekan ini (Bisnis, 18
November).
Pada
rapat tersebut, anggota DPR mempertanyakan kelanjutan temuan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang pembelian CP Bank Pacific serta saham
PT Pusako Turinka--perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata--yang
antara lain pemilik sahamnya Nasroel Chas.
Direktur
Keuangan dan Investasi PT Jamsostek Ackmal Husin mengungkapkan CP bank
Pacific tersebut dibeli pada September 1996 senilai Rp 37 miliar. Ackmal
mengemukakan PT Jamsostek waktu itu tertarik membeli CP tersebut,
karena Bank Indonesia merupakan salah satu pemegang saham. Pertimbangan
lain, sebagian besar saham Bank Pacific dimilki Ibnu Sutowo yang
terkenal sebagai konglomerat kelas kakap dan tokoh nasional.
Sebelum
penandatanganan kesepakatan penggantian CP itu dicapai, Jamsostek sudah
melakukan penelitian status tanahnya serta kondisi di lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap lahan di Jonggol itu, tanah
tersebut benar milik Nugra Santana. Dalam kesepakatan itu, katanya,
lahan seluas 187 ha tersebut dinilai sebesar Rp19.800 per m2.
Pimpinan
binaan BUMN Depnaker itu menyatakan Jamsostek memberikan uang tambahan
kepada Nugra Santara sebesar Rp4 miliar, karena nilai tanah yang
diambilalih itu lebih besar dibanding CP Bank Pacific yang dibeli
Jamsostek. Namun, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,
Jamsostek sudah meminta Nugra Santana mematok batas tanah yang
berdekatan dengan kota mandiri Bukit Jonggol Asri itu.
"Saya
sudah meminta Pontjo Sutowo selaku salah satu pemilik Bank Pacific agar
mematok batas-batas tanah, sehingga status kepemilikannya jelas. Jadi
Jamsostek menerimanya benar-benar bebas sengketa dari warga yang mengaku
memiliki tanah itu," ujarnya.
Jamsostek
tertarik mengambilalih tanah itu karena prospeknya pada 10 tahun
mendatang sangat baik apalagi jika pembangunan kota mandiri Bukit
Jonggol Asri terealisasi. Departemen Pekerjaan Umum, sudah menyetujui
rencana pembangunan jalan tol yang menghubungkan Sentul dengan Jonggol.
"Kalau pembangunan kota mandiri Bukit Jonggol Asri terealisasi, kawasan
tersebut menjadi permukiman masa depan," ujarnya optimistis.
Berdasarkan
catatan, sejumlah pengembang papan atas sudah mulai menggarap
permukiman berskala kota di kawasan Jonggol antara lain PT Bukit Jonggol
Asri yang dimiliki oleh Bambang Trihatmoddjo dan Grup Kaestindo seluas
30.000 ha dan Grup Modern 1.000 ha.
Adapun
Jonggol diincar karena ada bocoran dari Presiden Soeharto, bahwa
ibukota negara akan dipindahkan dari Jakarta ke Jonggol. Karuan saja
segala fasilitas dan infrastruktur dari dan ke Jonggol langsung
dibangun, mulai Cibubur, Cileungsi, Mekarsari, dan seterusnya. Artinya,
dibalik perpindahak ibu kota negara akan membawa multiplier effect bisnis yang besar, Bank Pacific termasuk salah satu yang mengantisipasinya.
Namun apa lacur yang terjadi, Soeharto keburu lengser ke prabon,
punahlah segala cita-cita pemindahan ibukota ke Jonggol. Turut serta
punah dalam kasus ini adalah, mimpi-mimpi para pebisnis yang ingin
membangun kota Jonggol, termasuk di dalamnya keluarga Ibnu Sutowo, yakni
Pontjo Sutowo dan kakaknya Endang Utari Mokodompit. Termasuk pula Bank
Pacific. Tragis memang…