<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d7369358004267333951\x26blogName\x3dwww.ruangmusik.blogspot.com\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://ruangmusik.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://ruangmusik.blogspot.com/\x26vt\x3d8335579683059174090', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

About Us

"kami hanya sekumpulan orang yang berguna untuk sebahagian orang, selebihnya suka mencaci, mencibir bahkan memandang sinis, tak perlu repot mengkerutkan wajah mu jika melihat kami tak bisa seperti yang kalian mau, karna kami hanya ingin bebas dan tidak pedulu urusanmu sedikitpun."

Recent

"Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque laudantium, totam rem aperiam, eaque ipsa quae ab illo inventore veritatis et quasi architecto beatae vitae dicta sunt explicabo."

Archives

SERIAL BLBI: BANK PACIFIC KESANDUNG BISNIS PROPERTI

Special Dedicated buat Yore...


By: Pontjo Sutowo

Sejak awal Bank Pacific banyak yang mengusulkan untuk dilikuidasi, mengingat kadar permasalahan di bank milik keluarga Ibnu Sutowo itu sudah tak bisa disembuhkan. Kredit macet sektor properti telah mengantarkan bank tersebut ke 'liang kubur'.
Muara masalah Bank Pacific berasal dari kredit yang disalurkan pada kelompok usaha Endang Utari Mokodompit ke sektor properti. Menurut sumber di Bank Pacific, total kredit macet itu mencapai Rp1 triliun. Selain tersangkut di sektor properti, Bank Pacific harus melunasi commercial paper (CP) yang dijaminnya hingga mencapai Rp1 triliun. Praktis total kredit bermasalah Bank Pacific mencapai Rp2 triliun.
Kredit macet yang dialami Bank Pacific berawal dari ulah Endang yang menggunakan kewenangannya sebagai Dirut untuk mengucurkan kredit ke perusahaan-perusahaan miliknya, sehingga melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Anak kedua dari pasangan Ibnu Sutowo dan Zuleha itu mengucurkan kredit di sektor properti grup sendiri, seperti Cipta Paramula Sejati, Puri Selaka, Suri Muliapermai dan Jaya Forex Utama Int’l. Selain di sektor properti, Endang juga mengucurkan dana Bank Pacific untuk membiayai jenis usaha lain yang masih dalam satu grup.
Sebenarnya proyek properti yang digarap Endang--seperti proyek Lido Likes and Resort--sangat prospektif bila dihitung dalam kaca mata bisnis. Namun karena dalam pengucuran kredit ke proyek tersebut sebelumnya sempat di-mark up, sehingga membuat harga jual proyek tersebut melambung tinggi. Pada akhirnya sulit dipasarkan.
Sementara itu Endang juga menjamin sejumlah CP dari usaha yang digelutinya. Konon CP tersebut sebagian besar dalam denominasi dolar AS. Kewajiban CP yang harus dilunasi Bank Pacific antara lain terhadap PT Wicaksono Overseas Internasional (WOI) dan sejumlah perusahaan di luar negeri. Saat CP-CP yang bernilai lebih kurang Rp1 triliun itu jatuh tempo, Endang panik, jual sana, pinjam sini, untuk menutupi CP-CP tersebut. Bahkan wanita ambisius tersebut harus diperkarakan oleh PT WOI karena menghindari tagihan CP yang jatuh tempo itu.

Keluarga terpukul

Beban berat yang diderita Bank Pacific rupanya segera berakhir, begitulah kira-kira dugaan orang setelah ditegaskan Bank Nasional Indonesia (BNI) 1946 masuk dengan memberikan bantuan teknis (technical assistance) selama kurang lebih dua tahun. Sebenarnya Bank BNI juga mengucurkan dana ke Bank Pacific dalam bentuk interbank call money, selain Bank Panin, dengan tingkat bunga cukup tinggi, yakni 200%.
Menurut sumber di perbankan, bantuan teknis yang diberikan Bank BNI sempat membuat Bank Pacific membaik sesaat, untuk kemudian semakin parah menyusul adanya gejolak moneter. Bahkan kondisinya bertambah parah karena ulah petugas Bank BNI di lapangan yang sering memborong aset Bank Pacific dengan harga setengah dari harga pasar.
Namun menjelang ajal bank yang tergolong bank papan atas tersebut tiba, Endang sempat menunjukkan itikad baiknya dengan menjual aset pribadinya untuk menutup hutang CP maupun beban kredit macetnya. Sumber itu menyebutkan hingga harta bendanya terjual, namun utang tersebut masih belum terlunasi. Akhirnya Endang memanfaatkan tawaran dana sejumlah bank besar lain dalam bentuk interbank call money berbunga tinggi.
Bak terjerat lintah darat, Endang sulit menghindari bantuan yang dalam jangka pendek cukup membantu namun dalam jangka panjang mencekik leher. Hingga akhirnya Menkeu melalui SK No. 537/KMK.017/1997 yang didasarkan surat BI No. 30/97/DIR/UPB3/Rahasia tanggal 31 Oktober 1997, mengeksekusi 'mati' bagi Bank Pacific karena tak bisa diselamatkan lagi. Bank Pacific mendapat vonis kematian dari pemerintah sejak hari Sabtu, 1 November 1997 pkl. 13.00.
Menurut data terakhir yang diperoleh dari tim care taker--terdiri dari Ketua Ma'ruf Saleh (BI), Edy Wangsyana (Bank Pacific), Irsyad (Bank Bira) dan Hasan Halim (Bank Prima Ekspres)--Bank Pacific masih memiliki aset Rp2,76 triliun. Jumlah dana pihak ketiga mencapai Rp536,09 miliar dari 19.224 rekening nasabah. Jumlah karyawan hingga detik-detik terakhir 'eksekusi' mencapai 833 orang yang tersebar di 20 kantor cabang, cabang pembantu dan kantor pusat.
Sebenarnya, menurut Pontjo Sutowo, Komisaris Bank Pacific yang juga merupakan adik kandung Endang Utari Mokodompit, pihaknya telah berupaya keras menyelamatkan bank tersebut. Namun karena pemerintah dan masyarakat sudah menilai negatif terhadap Bank Pacific, bank itu sulit bangkit. Bahkan dengan sangat menyedihkan pihak keluarga harus menerima kenyataan pencabutan izin bank itu.
"Kami benar-benar merasa terpukul dengan dicabutnya izin Bank Pacific, kami tidak menyangka kejadiannya seperti itu. Padahal BI punya saham di Bank Pacific lebih dari 50%," paparnya kepada pers saat bank itu ditutup ditahun 1997.
Pontjo mengakui bahwa pihak keluarga sudah tidak sanggup menyuntik dana segar ke Bank Pacific karena memang tidak punya dana. Dengan dicabutnya bank tersebut, membuat dia dan keluarga jera berbisnis bank. "Ini aja belum beres, bagaimana saya bisa melirik bank lain?"
Menurut dia, meski telah dilikuidasi jumlah nasabah bank dalam likuidasi (BDL) tidak berkurang. Yang berkurang hanya jumlah banknya. Harusnya sumber daya manusia bisa ditampung ke bank yang mau mengambil alih kantor cabang.
Riwayatmu dulu
Bank Pacific yang terlahir 2 Juni 1958 mengalami pasang surut kehidupan. Pada 1973, bank milik keluarga pengusaha Ibnu Sutowo itu menikah dengan PT Bank Merdeka dan tahun 1975 bank itu kembali melakukannya dengan PT Bank Kalimantan.
Memasuki 1974, bank tersebut telah mendapat status sebagai bank devisa. Data Top Companies & Big Group in Indonesia mengungkapkan susunan pemegang saham pada bank yang masuk daftar likuidasi itu terdiri dari Bank Indonesia [51,34%], Ibnu Sutowo [2,94%], Zaleha Ibnu Sutowo [2,94%], PT Nugra Santana [4,19%], PT Nugra Indraperkasa [38,89%].
Dalam perawatan Bank BNI, lembaga keuangan itu menempatkan HW Tehubijuluw sebagai presiden komisaris dengan anggota Pontjo Nugro Susilo, Sutomo Sunartadirdja, Sunardi PA dan Houtman Z. Arifin selaku komisaris.
Di jajaran manajemen dikomandoi oleh Ali Sanusi Lubis yang mengantikan Endang Utari Mokodompit dengan anggota direksi Eddi Wangsayatma dan Kosasih Wikanta yang dikirim oleh BNI 46.
Hingga kini Bank Pacific tercatat mempunyai 17 kantor cabang di Jakarta, Medan, Palembang, Malang, Surabaya dan Samarinda.
Pada 1994 keuntungan bersih bank itu sebesar Rp26,66 miliar. Sejak pertengahan 1995, Bank Pacific tidak lagi mempublikasikan laporan keuangannya lantaran dijerat masalah.
Hingga Juni 1995, Bank Pacific mencetak laba sebelum pajak sebesar Rp16,14 miliar dengan total aset mencapai Rp2,27 triliun. Return on assets (ROA) pada periode yang sama tercatat 0,7%, dengan kredit yang disalurkan sebesar Rp1,36 triliun, Rp126 miliar di antaranya disalurkan ke pihak terkait oleh bank. Sedangkan mobilisasi dana masyarakat dalam periode yang sama Rp1,07 triliun.
Tidak dipublikasikannya laporan keuangan Bank Pacific berkaitan dengan upaya BI untuk menyehatkan bank itu yang sedang sekarat akibat terlalu banyak menyalurkan kredit kepada kelompok sendiri, khususnya di sektor properti.
Selama ini Bank BNI telah masuk ke Bank Pacific untuk memberikan bantuan teknis, sehubungan dengan itu jajaran direksi dan komisaris didominasi oleh Bank BNI. Bantuan teknis yang diberikan BI melalui Bank BNI merupakan yang kedua kalinya, setelah tahun 1982 mereka menerima bantuan sama dengan konsekuensi 50% sahamnya diserahkan ke-BI.
Selain sempat berseteru dengan PT Wicaksana Overseas Indonesia dalam kasus commercial paper [CP] senilai US$5 juta, bank itu juga makin kewalahan menghadapi masalah BMPK yang makin membengkak.
Rupanya bantuan teknis BNI harus diselesaikan sampai 31 Oktober karena sejak per 1 November 97 bank tersebut resmi sebagai bank papan atas yang dilikuidasi.
Berdasarkan laporan hasil audit investasi BPK No. 06/01/Auditama II/AI/VII/2000 per tanggal 31 Juli 2000 terungkap, total BLBI yang diterima Bank Pacific mencapai Rp2,13 triliun. Dari jumlah tersebut total pengembalian BLBI yang tercatat sebesar Rp204,24 miliar, sehingga terdapat sisa kewajiban BLBI mencapai Rp1,93 triliun.
Jual aset
Rapat umum pemegang saham (RUPS) Bank Pacific, pasca likuidasi, memutuskan segera melakukan reaksi atas likuidasi yang menimpa bank tersebut dengan menjual aset dan utang serta memberikan pesangon kepada 872 karyawan.
RUPS Bank Pacific tersebut diwakili oleh pemegang saham mayoritas, pihak luar, anggota tim likuidasi dari Bank Indonesia (BI) serta pengurus Perbanas yang diselenggarakan dua pekan pasca likuidasi. Untuk tahap pertama, RUPS itu menetapkan segera menyelesaikan masalah ketenaga kerjaan.
Menurut M. Ma'ruf Saleh, ketua Tim Likuidasi Bank Pacific yang merupakan wakil dari BI, paling lama dalam waktu dua bulan kewajiban bank terhadap 872 karyawannya segera selesai melalui pembayaran pesangon yang diberikan.
Bahkan, kemungkinan besar pada akhir Desember 1997 semua karyawan telah menerima pesangon tiga bulan gaji ditambah gaji November, dengan cara penjualan aktiva dan utang lancar perusahaan.
Tahap awal akan dicari dana dari penjualan utang lancar perusahaan yang jumlahnya mencapai Rp310 miliar. Setelah itu mungkin baru akan dijual harta tetap perusahaan dan investasi perseroan yang ada pada perusahaan lain.
Tim Likuidasi Bank Pacific yang anggotanya tidak memiliki perwakilan dari deposan besar serta karyawan itu, melaporkan segala rencana yang akan dilakukan kepada BI, Departemen Kehakiman dan ke Departemen Tenaga Kerja.
Sementara itu, Pontjo Sutowo menyatakan permasalahan antara bank dengan karyawan serta deposan, kreditur dan debitur akan diselesaikan sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku.
"Selain itu, semua hak karyawan akan diberikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tetapi semua kewajiban karyawan juga harus diselesaikan sesuai dengan peraturan."
Pontjo mengemukakan perusahaan di bawah pimpinannya sedapat mungkin akan menyalurkan karyawan yang berbakat ke hotel atau jenis usaha lainnya. Tetapi harus diingat bahwa usaha mulik grup berbeda dengan usaha perbankan, sehingga hanya karyawan berbakat atau unggulan saja yang akan disalurkan.
Sebagai salah satu bentuk tanggung jawab Bank Pacific atas utang CP kepada PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sebesar Rp37 miliar, keluarga menyerahkan tanah seluas 187 ha di Jonggol, Jawa Barat. Negosiasi dan penelitian terhadap tanah yang ditawarkan PT Nugra Santana sebagai pengganti CP Bank Pacific yang dibeli tahun lalu, sudah selesai.
Sehubungan adanya penawaran dari PT Nugra Santana--pemilik Bank Pacific--belum lama ini kepada PT Jamsostek sebagai pengganti CP yang dibeli BUMN itu senilai Rp 37 miliar. Ini adalah bagian dari konsekuensi Undang-Undang No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas, dimana setiap ada perusahaan yang dilikuidasi maka segala hak dan kewajibannya diperhitungkan dari aset yang ada. Kalau aset yang ada tidak mencukupi maka dicari aset lain yang masih berharga untuk menutup kekurangannya.
Pembelian CP Bank Pacific oleh Jamsostek terungkap pada dengar pendapat antara Komisi V DPR dengan direksi PT Jamsostek awal pekan ini (Bisnis, 18 November).
Pada rapat tersebut, anggota DPR mempertanyakan kelanjutan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang pembelian CP Bank Pacific serta saham PT Pusako Turinka--perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata--yang antara lain pemilik sahamnya Nasroel Chas.
Direktur Keuangan dan Investasi PT Jamsostek Ackmal Husin mengungkapkan CP bank Pacific tersebut dibeli pada September 1996 senilai Rp 37 miliar. Ackmal mengemukakan PT Jamsostek waktu itu tertarik membeli CP tersebut, karena Bank Indonesia merupakan salah satu pemegang saham. Pertimbangan lain, sebagian besar saham Bank Pacific dimilki Ibnu Sutowo yang terkenal sebagai konglomerat kelas kakap dan tokoh nasional.
Sebelum penandatanganan kesepakatan penggantian CP itu dicapai, Jamsostek sudah melakukan penelitian status tanahnya serta kondisi di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap lahan di Jonggol itu, tanah tersebut benar milik Nugra Santana. Dalam kesepakatan itu, katanya, lahan seluas 187 ha tersebut dinilai sebesar Rp19.800 per m2.
Pimpinan binaan BUMN Depnaker itu menyatakan Jamsostek memberikan uang tambahan kepada Nugra Santara sebesar Rp4 miliar, karena nilai tanah yang diambilalih itu lebih besar dibanding CP Bank Pacific yang dibeli Jamsostek. Namun, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Jamsostek sudah meminta Nugra Santana mematok batas tanah yang berdekatan dengan kota mandiri Bukit Jonggol Asri itu.
"Saya sudah meminta Pontjo Sutowo selaku salah satu pemilik Bank Pacific agar mematok batas-batas tanah, sehingga status kepemilikannya jelas. Jadi Jamsostek menerimanya benar-benar bebas sengketa dari warga yang mengaku memiliki tanah itu," ujarnya.
Jamsostek tertarik mengambilalih tanah itu karena prospeknya pada 10 tahun mendatang sangat baik apalagi jika pembangunan kota mandiri Bukit Jonggol Asri terealisasi. Departemen Pekerjaan Umum, sudah menyetujui rencana pembangunan jalan tol yang menghubungkan Sentul dengan Jonggol. "Kalau pembangunan kota mandiri Bukit Jonggol Asri terealisasi, kawasan tersebut menjadi permukiman masa depan," ujarnya optimistis.
Berdasarkan catatan, sejumlah pengembang papan atas sudah mulai menggarap permukiman berskala kota di kawasan Jonggol antara lain PT Bukit Jonggol Asri yang dimiliki oleh Bambang Trihatmoddjo dan Grup Kaestindo seluas 30.000 ha dan Grup Modern 1.000 ha.
Adapun Jonggol diincar karena ada bocoran dari Presiden Soeharto, bahwa ibukota negara akan dipindahkan dari Jakarta ke Jonggol. Karuan saja segala fasilitas dan infrastruktur dari dan ke Jonggol langsung dibangun, mulai Cibubur, Cileungsi, Mekarsari, dan seterusnya. Artinya, dibalik perpindahak ibu kota negara akan membawa multiplier effect bisnis yang besar, Bank Pacific termasuk salah satu yang mengantisipasinya.
Namun apa lacur yang terjadi, Soeharto keburu lengser ke prabon, punahlah segala cita-cita pemindahan ibukota ke Jonggol. Turut serta punah dalam kasus ini adalah, mimpi-mimpi para pebisnis yang ingin membangun kota Jonggol, termasuk di dalamnya keluarga Ibnu Sutowo, yakni Pontjo Sutowo dan kakaknya Endang Utari Mokodompit. Termasuk pula Bank Pacific. Tragis memang…

You can leave your response or bookmark this post to del.icio.us by using the links below.
Comment | Bookmark | Go to end